
Begitu mudahnya sekarang menjadi wartawan. Asal ada kemauan, saat itu juga bisa menyandang profesi wartawan. Apalagi, jika punya kesanggupan berburu berita yang bisa memasok ‘gizi’ ke media yang menaunginya. Tak usah menunggu waktu, orang awam pun segera dibuatkan kartu pers untuk modal peliputan berita. Simpel sekali prosedurnya, bukan?
Tapi, tunggu dulu. Tak sembarang media pers segampang itu merekrut wartawan. Media-media besar dan mapan, umumnya sudah menerapkan standar profesional dalam rekruitmen wartawan. Bahkan dalam komunitas media pers kategori ini, untuk menjadi wartawan profesional prosedurnya justru tak kalah ketat dengan seleksi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), misalnya.
Dari gambaran di atas, bisa dimaklumi kalau kemudian dalam dunia pers muncul perbedaan wartawan ke dalam tipologi ‘wartawan beneran’ dan ‘wartawan bodrex’. Yang disebut terakhir, tak lain adalah orang-orang yang masuk ke habitat pers tapi sepak terjang jurnalistiknya justru banyak mencemari dunia pers itu sendiri.
Keberadaan wartawan ‘bodrex’ memang tak bisa dipandang sebelah mata. Sebab, faktanya, mereka juga berkalung kartu pers sebagai bukti fisik identitas diri seorang wartawan. Soal, apakah mereka produktif dalam menghasilkan karya jurnalistik atau tidak, itu menjadi urusan lain. Karena itulah, dari perspektif ini, rasanya sulit mencari alasan untuk tidak mengkategorikan mereka ke dalam komunitas wartawan.
Bondan Winarno pernah mengatakan, dari segi penampilan, tidak ada perbedaan nyata antara wartawan ‘bodrex’ dengan wartawan beneran. Sebagai wartawan, wawasan mereka memang dangkal, karena tujuan utamanya memang semata bukan untuk kepentingan jurnalistik. Tetapi, tidak jarang dari mereka punya daya intuisi dan investigasi yang tajam.
Dalam menjalankan misi jurnalistiknya, wartawan ‘bodrex’ biasanya berlindung di balik kartu pers resmi dari medianya maupun dari beragam organisasi profesi kewartawanan. Karenanya, mereka akhirnya lebih mengedepankan ideologi ‘jurnalisme kartu pers’ ketimbang mengaktualisaikan jargon-jargon ideal jurnalismyang menjadi ruh dari media pers.
Di panggung pers nasional, ironi wartawan ‘bodrex’ sebenarnya bukan cerita baru. Bukankah dari dulu sudah muncul sindiran adanya wartawan tanpa surat kabar (WTS) yang ulahnya seringkali mencemari intitusi pers? Hanya saja, kalau kini keberadaan wartawan ‘bodrex’ kian menuai sorotan, itu barangkali karena jumlah ‘pasukan’ mereka memang kian menjamur.
Diakui atau tidak, wartawan ‘bodrex’ semakin bertambah subur seiring bergulirnya liberalisasi pers pasca reformasi 1998. Sejak itu, kontrol birokrasi terhadap keberadaan media pers begitu longgar. Dengan demikian, sebuah media pers bisa meluncur begitu saja tanpa harus lewat prosedur yang rumit. Berbarengan dengan itu, siapa pun seolah juga bisa masuk dalam komunitas pers. Siapa pun juga bisa membikin media sekalipun tanpa ditopang sumber dana dan sumberdaya manusia yang punya concern terhadap idealisme pers.
Konsekuensinya, bermunculanlah ‘wartawan karbitan’ yang kinerja jurnalistiknya kadang jauh dari cita-cita ideal pers itu sendiri. Jangan heran kalau kemudian muncul media pers yang merekrut jajaran redaksi hingga wartawan secara serampangan. Kartu pers yang seharusnya diterbitkan secara ketat dan selektif, akhirnya ‘diobral’ untuk membekali ‘pasukan’ yang melakukan tugas jurnalistik di lapangan.
Jadilah, kartu pers menjadi segala-galanya. Status profesi wartawan, akhirnya cukup dilihat dan diukur dari parameter kepemilikan kartu pers. Dalam konteks ini, produktifitas karya jurnalistik menjadi tak begitu urgen. Salah-salah, wartawan yang produktif membuat karya jurnalistik justru dicap sebagai ‘wartawan liar’ hanya karena mereka tak berkalung kartu pers.
Padahal, banyak di antara wartawan ‘bodrex’ berkalung kartu pers yang sesungguhnya produktifitas karya jurnalistiknya masih layak dipertanyakan. Sebaliknya, mereka justru lebih memilih memanfaatkan kartu pers yang dikantonginya untuk kepentingan di luar tugas jurnalistik. Misalnya, kartu pers difungsikan sebagai kartu trufuntuk melakukan tindak pemerasan dengan dalih memuat atau tidak memuat sebuah berita. Praktek kotor ala wartawan ‘bodrex’ agaknya masih menjadi fenomena kelam dalam dunia pers nasional. Itulah sebabnya, kini media-media cetak maupun elektronik terang-terangan mengkomunikasikan ke khalayak bahwa wartawannya ‘diharamkan’ menerima sesuatu pemberian dari nara sumber.
Tentu, persoalannya, terlalu naif jika nantinya institusi pers harus kehilangan kepercayaan publik hanya gara-gara merebaknya praktek-praktek kotor sebagaimana yang lazim dimainkan wartawan ‘bodrex’.
Wartawan ‘Bodrex’
Wartawan ‘bodrex’ memang cukup lama dikenal di kalangan wartawan dan pejabat serta pengusaha. Istilah wartawan ‘bodrex’ sendiri muncul dari iklan obat sakit kepala di televisi, yang di dalamnya terdapat ‘pasukan bodrex datang’. Secara faktual wartawan ‘bodrex’ biasanya datang beramai-ramai seperti pasukan. Versi lain mengatakan, istilah ‘bodrex’ berasal dari narasumber yang merasa ‘sakit kepala’ jika didatangi wartawan palsu. Untuk menghilangkan ‘sakit kepala’ itu, sumber berita memberi amplop berisi uang sebagai ‘obat’ penangkalnya.
Sejak pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, wartawan ‘bodrex’ lebih dikenal sebagai WTS (wartawan tanpa surat kabar). Dalam perjalanannya, wartawan ‘bodrex’ sebenarnya tidak ‘bekerja’ pada sebuah media. Mereka hanya mengaku sebagai wartawan, padahal profesi wartawan yang diakuinya adalah wartawan gadungan yang biasanya hanya memeras pejabat dan pengusaha yang dianggap ‘bermasalah’.
Namun seiring reformasi dan jatuhnya orde baru, wartawan ‘bodrex’ tampil berani dan terang-terangan beroperasi untuk menjalankan profesinya dengan mengatasnamakan ‘wartawan’. Malah dalam menjalankan aksinya, mereka dilengkapi dengan kartu pers dan mempunyai penerbitan tertentu.
Dalam menjalankan profesinya sebagai wartawan, orientasi wartawan ‘bodrex’ tidak lagi memakai kaidah jurnalistik, yang seharusnya menyampaikan fakta sesungguhnya. Tetapi orientasi mereka sudah berubah menjadi bagaimana caranya untuk mendapatkan uang dengan berkedok sebagai wartawan, sehingga berita yang dibuatnya keluar dari konteks kaidah jurnalistik itu sendiri.
Malah dalam perjalanannya, wartawan ‘bodrex’ tidak segan-segan melakukan tindakan penipuan dan pemerasan. Modusnya beragam, ada yang meminta uang untuk biaya perjalanan, mengajukan proposal kegiatan, dan biaya iklan.
Wartawan amplop juga sangat tipis batasannya dengan wartawan ‘bodrex’. Asumsi ini bisa benar, jika praktik amplopisme ini juga dilakukan oleh wartawan yang nyata-nyata tidak jelas identitasnya. Akan tetapi golongan wartawan ‘bodrex’ lebih kejam dalam menjalankan modus operandinya.
Kebebasan pers, selain meniupkan angin segar juga mengalirkan angin busuk bagi wartawan. Kemudahan untuk menerbitkan media, juga diikuti dengan penyimpangan yang dilakukan oleh orang-orang tertentu dengan terang-terangan maupun tersembunyi. Sepak terjang menyimpang dari etika profesi, lama kelamaan menjadi budaya wartawan.
Menerima sogokan jelas melanggar etika profesi wartawan. Pasal lima Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) menyebutkan, “Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi”. Pasal ini jelas menafsirkan bahwa wartawan Indonesia dilarang menerima suap, dengan cara tidak menerima imbalan dalam bentuk apa pun. Ini untuk menjaga profesi wartawan itu sendiri. Namun dalam praktiknya, wartawan Indonesia banyak melanggar kode etik yang dibuat.
Penyimpangan Profesi Wartawan
Ada beberapa pola penyimpangan yang dilakukan profesi wartawan. Pertama, pola pasif. Wartawan hanya menerima amplop dari narasumber. Disebut pasif karena mereka tidak meminta, namun menerima kalau narasumber memberi. Pola ini biasanya dilakukan wartawan yang bekerja di perusahaan kecil dan menengah yang kurang memberikan gaji yang layak bagi wartawannya. Namun, penyimpangan ini juga dilakukan oleh wartawan yang bekerja di perusahaan besar, tetapi tidak memiliki peraturan yang tegas soal amplop. Wartawan ini dikenal sebagai tipe ‘kucing’ yang jinak dan manis setelah dilempar ikan.
Kedua, pola aktif atau agresif. Pola penyimpangan ini dilakukan oleh wartawan yang bekerja di perusahaan ‘papan nama’. Dengan cara meminta amplop kepada narasumber secara aktif, bergerilya ke dinas pemerintahan atau perusahaan. Disebut perusahaan pers ‘papan nama’, karena perusahaan tersebut hanya terbit dua atau tiga kali, setelah itu mati. Namun, wartawannya tetap aktif mencari berita dengan tujuan mencari ‘angpao’ dari narasumber. Selain itu, penyimpangan jenis ini dilakukan wartawan dengan cara mendatangi sumber berita dengan menunjukkan bukti tulisan berita, lalu mengharap pemberian ‘angpao’ dari sumber berita. Wartawan ini dikenal dengan tipe ‘nyamuk’ yang suka merubung tempat potensial untuk ‘disedot’.
Ketiga, pola pemerasan. Pola ini dilakukan dengan cara mendatangi sumber berita yang bermasalah. Misalnya tersangka korupsi, pejabat atau pengusaha yang diduga selingkuh. Pelakunya adalah mereka yang mempunyai kartu pers dan menjadi ‘wartawan’ di salah satu media. Atau mereka hanya mengaku sebagai wartawan tetapi tidak memiliki media yang jelas keberadaannya. Wartawan ini mempunyai tipe wartawan ‘kecoa’, sudah baunya tidak sedap, beraksi di tempat kotor lagi.
Kempat, pola penipuan. Pola ini adalah tipe musang berbulu wartawan. Artinya, menipu dengan mengatasnamakan profesinya untuk memperoleh keuntungan. Contohnya, dengan cara mengedarkan daftar sumbangan kepada pejabat atau pengusaha untuk rekan wartawannya yang meninggal dunia, padahal rekan wartawannya masih sehat. Ini jelas penipuan. Mereka bisa wartawan yang tersesat atau bisa juga penipu.
Banyak orang yang berpendapat, profesi wartawan adalah mulia. Pendapat itu dikaitkan dengan salah satu tujuan dari tugas wartawan itu sendiri, yaitu menyebarkan informasi kepada khalayak. Mencari data dan mengungkapkan dalam bentuk berita. Dengan tugas tersebut, seorang jurnalis akan menyampaikan kebenaran kepada masyarakat melalui informasi yang dipublikasikannya.
Sebagai seorang wartawan yang menyampaikan kebenaran kepada masyarakat, ia dituntut memiliki integritas atau kepribadian yang baik, baik integritas dari segi moral maupun intelektual. Pasalnya, profesi wartawan sangat berbeda dengan profesi lainnya. Wartawan dituntut untuk tanggap terhadap gejala sosial di masyarakat. Mengingat fungsi pers sendiri adalah sebagai kontrol sosial, sehingga seorang wartawan dituntut memiliki kepedulian terhadap gejala sosial.
Dunia wartawan diibaratkan sebuah pisau tajam, yang siap mengupas apa saja, tinggal kita yang harus bisa menggunakannya.Bagaimanapun profesi wartawan adalah profesi yang menuntut kita untuk bersikap profesional dan idealis. Tidak jarang orang yang bersifat profesional dan idealis bisa tergelincir hanya karena ‘angpao’. Hal ini diakibatkan dari perusahaan di tempatnya bekerja belum memberikan kesejahteraan yang layak. Kita patut acungi jempol langkah yang ditempuh Metro TV sebagai salah satu media berita, yang terang-terangan melarang reporternya menerima imbalan berupa apa saja. Keberanian Metro TV ini beralasan, perusahaannya berani membayar seorang reporter/jurnalisnya dengan upah yang tinggi.
Mengaplikasikan Kode Etik Jurnalistik dan Undang Undang Pers
Pemerasan adalah tindakan kriminal yang dapat langsung dilaporkan ke polisi. UU No.40/1999 tentang Pers maupun Kode Etik Jurnalistik tidak akan melindungi praktik pemerasan berkedok wartawan ini.
Dewan Pers telah banyak menggelar sosialisasi. Tujuannya mendorong masyarakat, terutama yang menjadi korban, agar tegas melawan praktik wartawan gadungan. Masyarakat perlu mengenal perbedaan praktik wartawan profesional dengan wartawan gadungan.
Apa yang membedakan wartawan bodrek dengan wartawan sungguhan? Profesi wartawan bisa dilihat dari berbagai aspek. Pertama, dalam pengertian sehari-hari, wartawan adalah orang yang melakukan kerja jurnalistik berdasarkan etika dan ada produk yang dihasilkan secara teratur. Dalam Pasal 1 ayat (4) UU Pers dikatakan “Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik”.
Jika ada orang berniat mencuri, merampok, atau membodohi masyarakat dengan bermodal kamera atau seragam wartawan, maka dia bukan wartawan. Wartawan gadungan suka mendatangi, misalnya, orang yang tidak paham tentang siapa dan apa pekerjaan wartawan. Atau mendatangi orang yang sebenarnya paham jurnalistik dan aspek hukum pers, tetapi karena orang itu bermasalah, maka ikut menjadi bagian dari wartawan gadungan. Ada aspek saling memanfaatkan. Orang itu bisa menjadi perahan atau sebaliknya si wartawan menjadi penyelamatnya.
Bagaimana dengan wartawan yang bekerja di media yang terbitnya kadang-kadang? Saat ini adalah masa transisi dari masa lalu yang sangat menekan dan represif terhadap kemerdekaan pers. Kini sudah dilepaskan simbol-simbol kekuasaan pemerintah yang sepertinya tak terbatas itu. Kemudian dibuat Undang Undang Pers yang menghapus semua atribut yang dapat membelenggu kemerdekaan pers. Misalnya tidak ada Surat Izin Usaha Penerbitan Pers, tidak ada pemberedelan, tidak ada wadah tunggal organisasi wartawan, dan tidak ada keharusan wartawan mengikuti penataran. Sehingga kita masuk ke suatu ruang yang seolah sangat bebas, tanpa orang lain di dalamnya. Di sinilah muncul persoalan profesionalisme.
Apa itu persoalan profesionalisme? Seseorang yang disebut memiliki profesi harus mempunyai kompetensi yang didapat melalui pelatihan singkat, pendidikan singkat atau formal. Dengan pelatihan tersebut ia memiliki keahlian. Ia bekerja tidak semata-mata karena profesinya namun juga memiliki tanggung jawab terhadap karyanya. Apakah karyanya telah memberi manfaat, misalnya.
Kriteria mengenai profesionalisme ini sulit dibuat dalam satu regulasi. Sekarang persoalan itu dikembalikan ke Dewan Pers. Namun Dewan Pers dalam posisi yang gamang. Kalau Dewan Pers membuat higher regulation(aturan-aturan yang berlebihan), Dewan Pers bisa kembali ke masa Departemen Penerangan. Tetapi, jika dibiarkan, para ‘pembonceng-pembonceng pers’ semakin keterlaluan.
Setelah sepuluh tahun kebebasan pers, keberadaan wartawan gadungan belum dapat dihilangkan. Sementara Dewan Pers terbatas kewenangan untuk memberantas wartawan gadungan. Lalu, apa yang dapat diupayakan Dewan Pers? Saat ini kita berada dalam paradigma kemerdekaan pers baru yang menurut Undang Undang Pers merupakan perwujudan kedaulatan rakyat. Artinya, kemerdekaan pers bukan milik wartawan, pemodal, atau Dewan Pers, tetapi milik masyarakat berdaulat yang direfleksikan melalui kemerdekaan pers. Sehingga kemerdekaan pers harus bermakna untuk kehidupan masyarakat dan demokrasi.
Undang Undang Pers menyebut tujuan dari kemerdekaan pers, antara lain, menegakkan demokrasi, mengedepankan prinsip keadilan, dan supremasi hukum. Inilah paradigmanya. Persoalannya, kalau kita ingin mengimplementasikan kemerdekaan pers dengan prinsip keadilan, adilkah wartawan profesional dicampuradukkan dengan wartawan amatiran atau gadungan? Adilkah masyarakat, sebagai pemilik kemerdekaan pers, melakukan pembiaran? Lalu, apakah wartawan amatiran dapat diandalkan untuk menegakkan prinsip kemerdekaan pers dan supremasi hukum sementara mereka bermasalah dan cenderung melakukan pelanggaran hukum seperti pencemaran nama baik?
Publik harus cerdas dan tegas menyikapi wartawan gadungan. Mereka jangan diberi ruang hidup. Jika mereka memeras segera lapor ke pihak berwajib. Berbicara mengenai wartawan gadungan tidak ada relevansinya dengan kemerdekaan pers. Sebab wartawan gadungan bukan wartawan. Sedang profesi wartawan adalah bermartabat dan terhormat.
Ada wartawan bekerja di media yang jelas tetapi meminta uang kepada narasumber usai meliput. Bagaimana menyikapinya? Kalau wartawan bekerja secara profesional ia tidak mau meminta amplop dari masyarakat. Wartawan yang profesional biasanya bekerja di perusahaan pers yang sehat. Ciri perusahaan pers yang sehat, mereka memiliki pembaca, pendengar atau pemirsa yang mau membeli atau menonton. Sehingga ada pemasang iklannya. Mereka memiliki kredibilitas dan dapat menggaji wartawannya secara wajar.
Selama ini rendahnya kesejahteraan banyak dijadikan alasan wartawan untuk meminta amplop kepada narasumber. Apakah itu dibenarkan? Kalau ada orang mengaku wartawan, kemudian meminta uang kepada narasumber dengan alasan gajinya tidak mencukupi, sebaiknya ia mundur saja dari profesi wartawan. Perilakunya mencederai kehormatan profesi wartawan.
Harapan masyarakat kepada Dewan Pers sangat besar. Bahkan berharap Dewan Pers bisa seperti Komisi Pemberantasan Korupsi yang memiliki kewenangan besar. Harapan itu tidak mungkin.
Selama ini Dewan Pers sudah merespon keluhan masyarakat mengenai perilaku wartawan gadungan atau wartawan sungguhan. Dalam hal regulasi, Dewan Pers telah membuat Standar Kompetensi Wartawan. Karena itu, pertama, Dewan Pers menghimbau sebaiknya wartawan bergabung dengan satu organisasi. Dengan begitu ia terikat pada etika di organisasi tersebut. Kedua, Dewan Pers telah membuat standar minimal pendirian perusahaan pers yang mengatur, misalnya, soal modal.
Di satu pihak ada wartawan yang nakal. Di lain pihak ada masyarakat atau pejabat yang bermasalah dan menyediakan amplop untuk wartawan. Darimana memulai mengatasinya? Adalah istilah garbage in garbage out: Kalau masuknya sampah akhirnya yang keluar juga sampah. Kalau ada masyarakat yang kehilangan akal, kemudian membuat perusahaan pers atau menjadi wartawan tanpa kompetensi apapun di bidang pers, akhirnya produk yang dihasilkannya juga sampah.
Persoalan lainnya menyangkut perilaku penegak hukum yang tidak terpuji, yang biasa disebut oknum, meski bisa jadi sebenarnya bukan oknum tapi perilakunya telah struktural dan kurtural. Seperti yang dikatakan oleh wartawan Indonesia Raya, Mochtar Lubis, bahwa korupsi dan munafik telah membudaya, dan itu masih terjadi sampai sekarang.
Kalau kita punya moral, etika, dan kompetensi, sedarurat apapun kita tidak akan memilih menjadi wartawan gadungan atau amplop. Persoalan wartawan amplop akhirnya kembali ke diri wartawan. Bagi wartawan profesional, jangankan meminta, diberi amplop pun ia menolak. Kebanggaan wartawan justeru pada penolakannya. Ketika menolak, integritas dan citra wartawan akan terangkat dan kembali bermartabat.
Bagaimana dengan prosedur mendapatkan kartu pers? Untuk mengatasi problem rendahnya kompetensi wartawan, Dewan Pers memiliki program pendidikan dan pelatihan untuk wartawan bernama Sekolah Jurnalistik. Program ini masih terbatas dan dilakukan bekerjasama dengan LPDS (Lembaga Pers Dr. Soetomo). Pesertanya akan mendapat sertifikasi di bidang etika. Karena etika dianggap yang terpenting. Wartawan perlu diyakinkan, kalau mereka memiliki kemampuan profesional yang diikuti etika maka mereka memiliki kedudukan bermartabat.
Setiap profesi modern memiliki organisasi. Di dalam organisasi itu melekat etika sebagai mahkota. Dimungkinkan wartawan membuat organisasi tunggal, seperti advokat, yang dapat mengeluarkan sertifikat. Persoalannya tinggal bagaimana stakeholders di kalangan pers dan masyarakat memiliki kesepakatan. Sebab, jika sebagian sepakat dan sebagian tidak, akan jadi masalah. Wartawan profesional memang sebaiknya dibekali sertifikat yang dikeluarkan oleh sebuah lembaga yang disepakati bersama.
Dari Berbagai Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar