
Organisasi pers sendiri di negeri ini sudah ada semenjak zaman penjajahan. TercatatInlandsche Journalisten Bond (IJB) yang berdiri pada tahun 1914 di Surakarta adalah organisasi pers yang paling awal berdiri. Pendiri IJB antara lain Mas Marco Kartodikromo, Dr. Tjipto Mangunkusumo, Sosro Koornio, dan Ki Hadjar Dewantara. Selain IJB ada juga organisasi pers lainnya yaitu Persatoean Djoernalis Indonesia (PERDI) dengan tokoh-tokohnya antara lain Sutopo Wonoboyo, Sudarjo Tjokrosisworo, M Tabrani, Parada Harahap, Sjamsudin Sutan Makmur, dan lain-lain. Organisasi ini terbentuk pada tahun 1933.
Lalu bagaimanakah dengan organisasi pers saat ini? Dari banyaknya organisasi pers yang ada di Indonesia, penulis mendapatkan 2 organisasi pers yang dianggap cukup “sehat” dan masih aktif hingga saat ini. Kedua organisasi pers ini adalah Persatuan Wartawan Indonesia dan Aliansi Jurnalis Independent. Kedua organisasi pers ini dianggap sebagai wakil dari banyaknya organisasi pers yang ada. Karena walaupun sama-sama organisasi pers, namun keduanya “bersebrangan” dalam memegang azas-azas atau patokan dasar dalam kegiatan jurnalistiknya.
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)
PWI didirikan pada 9 Februari 1946 di Solo. Munculnya PWI diwarnai aspirasi perjuangan para pejuang kemerdekaan, baik mereka yang ada di era 1908, 1928 maupun klimaksnya 1945. Selain itu, tanggal 9 Februari juga di peringati sebagai Hari Pers Nasional (HPN). Boleh dikatakan, PWI sangat dekat dengat dengan rezim Orde Baru. Karena kegiatan jurnalistik yang berlandaskan Pancasila ini dianggap sebagai “senjata andalan” Presiden Soeharto dalam mempertahankan kekuasaannya selama 32 tahun.
Dulu PWI bersama Departemen Penerangan (Deppen) memonopoli kegiatan pers di Indonesia. Saat itu PWI di sahkan sebagai satu-satunya wadah pers di Indonesia. Bagi sebagian orang, PWI yang berlandaskan “pers Pancasila” dan “pers pembangunan” dianggap sebagai mitra pemerintah. Karena itu bukan hal yang aneh tidak ada komentar-komentar miring terhadap pemerintah saat itu. Karena Deppen dan PWI bersifat hegemonik dan berfungsi sebagai big brother bagi pers di Indonesia.
Pada saat itu pers Indonesia menjadi semacam direktorat jenderal yang kelima dari Deppan. Sebagai contoh, Deppan begitu berperan dalam mengatur kehidupan pers di Indonesia. Cara-cara seperti ini hanya ada dalam pemerintahan yang sangat fasis.
Lalu saat ini ketika rezim Orde baru runtuh, PWI seperti kehilangan taringnya. PWI tidak lagi mencadi satu-satunya wadah pers di Indonesia. Di era reformasi, begitu banyak bermunculan organisasi pers yang memilih landasan yang berbeda dengan PWI. Jika saat itu berdirinya PWI di restui oleh pemerintah, saat ini organisasi pers yang baru tidak memerlukan hal tersebut. Karena berdasarkan pasal 28 UUD 1945 yang menyangkut hak untuk berkumpul atau berserikat serta kebebasan mengeluarkan pendapat, para wartawan bebas medirikan organisasi pers. Salah satunya adalah Aliansi Jurnalis Independent.
Aliansi Jurnalis Independent (AJI)
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) lahir sebagai perlawanan komunitas pers Indonesia terhadap kesewenang-wenangan rezim Orde Baru. Semuanya dimulai ketika ada pembredelan Detik, Editor dan Tempo, pada tanggal 21 Juni 1994. Ketiganya dibredel karena pemberitaannya yang tergolong kritis kepada penguasa. Tindakan represif inilah yang memicu aksi solidaritas sekaligus perlawanan dari banyak kalangan secara merata di sejumlah kota. Lalu pada tanggal 7 Agustus 1994 di Bogor, sekitar 100 orang menandatangani Deklarasi Sirnagalih. Inti deklarasi ini adalah menuntut dipenuhinya hak publik atas informasi, menentang pengekangan pers, menolak wadah tunggal untuk jurnalis, serta mengumumkan berdirinya AJI.
Berdirinya AJI memberi gaung cukup besar di dunia jurnalistik Indonesia. Tekanan terhadap para jurnalis yang terang-terangan bergabung dalam AJI sangat besar. Pemerintah melalui Deppan dan PWI melihat berdirinya AJI sebagai tantangan terbuka, yang harus ditindak keras agar tidak meluas. Berbagai tindakan “pendisiplinan” melalui pemimpin di media masing-masing pun dilakukan.
Sejak berdiri hingga saat ini, AJI memiliki kepedulian pada tiga isu utama. Inilah yang kemudian diwujudkan menjadi program kerja selama ini. Pertama, perjuangan untuk mempertahankan kebebasan pers. Kedua, meningkatkan profesionalisme jurnalis. Ketiga, meningkatkan kesejahteraan jurnalis. Semua ini merujuk pada persoalan nyata yang dihadapi jurnalis.
Pertama, perjuangan untuk mempertahankan kebebasan pers merupakan pekerjaan rumah utama AJI. Tidak hanya semasa Orde Baru berkuasa, saat represi terhadap media dan pemberangusan terhadap kebebasan pers sangat tinggi. Setelah Presiden Soeharto tumbang berganti era reformasi, isu kebebasan pers itu masih terus aktual. Sebab, represi yang dulunya berasal dari negara, kini justru bertambah dari masyarakat, mulai dari pejabat dan pengusaha yang merasa terancam oleh pers yang mulai bebas, hingga kelompok-kelompok preman.
Kedua, soal peningkatan profesionalisme jurnalis. Bagi AJI, pers profesional merupakan prasyarat mutlak untuk membagun kultur pers yang sehat. Dengan adanya kualifikasi jurnalis semacam itulah pers di Indonesia bisa diharapkan untuk menjadi salah satu tiang penyangga demokrasi. Karena itulah, AJI melaksanakan sejumlah training, workshop, diskusi dan seminar.
Ketiga, peningkatan kesejahteraan jurnalis. Tema tentang kesejahteraan ini memang tergolong isu yang sangat ramai di media. Bagi AJI, kesadaran akan pentingnya isu ini sudah dimulai sejak kongres AJI tahun 1997. Dalam kongres tersebut, dicetuskan untuk memberikan porsi layak kepada isu yang berhubungan dengan aspek ekonomi jurnalis. Salah satu bentuknya adalah dengan mendorong pembentukan serikat pekerja di masing-masing media.
AJI percaya, dengan adanya serikat pekerja, akan memberi dampak baik bagi perusahaan. Dengan adanya wakil karyawan, maka mereka bisa ikut mempengaruhi kebijakan yang akan melibatkan mereka. Dampak lanjutannya, jurnalis pun bisa mendapatkan penghasilan yang layak sehingga kebutuhan ekonominya tercukupi. AJI percaya, soal kesejahteraan ini memiliki korelasi cukup kuat dengan terbentuknya karakter seorang jurnalis profesional.
***
Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.
Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang. Karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat. Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik :
Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Penafsiran
- Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers,
- Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi,
- Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara, dan
- Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.
Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Penafsiran
Cara-cara professional adalah :
- Menunjukkan identitas diri kepada narasumber,
- Menghormati hak privasi,
- Tidak menyuap,
- Menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya,
- Rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang,
- Menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara,
- Tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri, dan
- Penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.
Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Penafsiran
- Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu,
- Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional,
- Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta, dan
- Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.
Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Penafsiran
- Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi,
- Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk,
- Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan,
- Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi, dan
- Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.
Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Penafsiran
- Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak, dan
- Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.
Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
Penafsiran
- Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum, dan
- Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.
Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.
Penafsiran
- Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya,
- Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber,
- Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya, dan
- “Off the record” adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.
Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Penafsiran
- Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas, dan
- Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.
Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
Penafsiran
- Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati, dan
- Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.
Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
Penafsiran
- Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar, dan
- Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.
Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Penafsiran
- Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya,
- Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain, dan
- Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.
Selain Persatuan Wartawan Indonesia dan Aliansi Jurnalis Independent, penulis mencatat ada beberapa organisasi pers yang lainnya, di antaranya :
- Aliansi Wartawan Independen (AWI)
- Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI)
- Asosiasi Wartawan Demokrasi Indonesia (AWDI)
- Asosiasi Wartawan Kota (AWK)
- Federasi Serikat Pewarta
- Gabungan Wartawan Indonesia (GWI)
- Himpunan Penulis dan Wartawan Indonesia (HIPWI)
- Himpunan Insan Pers Seluruh Indonesia (HIPSI)
- Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)
- Ikatan Jurnalis Penegak Harkat dan Martabat Bangsa (IJAB HAMBA)
- Ikatan Pers dan Penulis Indonesia (IPPI)
- Kesatuan Wartawan Demokrasi Indonesia (KEWADI)
- Komite Wartawan Reformasi Indonesia (KWRI)
- Komite Wartawan Indonesia (KWI)
- Komite Nasional Wartawan Indonesia (KOMNAS-WI)
- Komite Wartawan Pelacak Profesional Indonesia (KOWAPPI)
- Korp Wartawan Republik Indonesia (KOWRI)
- Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI)
- Persatuan Wartawan Pelacak Indonesia (PEWARPI)
- Persatuan Wartawan Reaksi Cepat Pelacak Kasus (PWRCPK)
- Persatuan Wartawan Independen Reformasi Indonesia (PWIRI)
- Perkumpulan Jurnalis Nasrani Indonesia (PJNI)
- Persatuan Wartawan Nasional Indonesia (PWNI)
- Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat
- Serikat Pers Reformasi Nasional (SEPERNAS)
- Serikat Wartawan Indonesia (SWI)
- Serikat Wartawan Independen Indonesia (SWII)
Dalam era banyak media seperti saat ini, masyarakat memiliki cukup banyak alternatif untuk melakukan perbandingan. Masyarakat akan mampu menilai, mana lembaga profesional, dan mana wartawan yang bekerja profesional. Semua itu dinilai dari produk yang disajikan. Masyarakat yang makin peka dan kritis akan makin berani melakukan kritik. Pers yang profesional tentulah harus siap menerima kontrol dari masyarakat. Menerima kritik dengan lapang dada dan selalu melakukan perbaikan-perbaikan, tentulah jauh lebih baik daripada dibredel oleh masyarakat, alias ditinggalkan oleh pembaca dan pemirsanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar